![]() |
“Ketika Kemarau Datang”- KARYA LYDIA SAPUTRA TAHUN 2015 (Sumber: Kompas) |
ZELFANI WIMRA
jantung pisang
dan kamus peribahasa
sebelum mematri langkah sebagai perantau
aku
lukai sebatang pisang
aku
pancung tandan di hulu jantungnya
hingga
terburai, bercerai-berai
nasib
serupa juga ditanggung kamus peribahasa warisan ibu
lenyai
digigit rayap, seolah belorong labirin kini mengurung
petuah
lama di halamannya
aku
nyanyikan ini sebagai puisi pindah rumah
tanpa
pernah mengenali alasannya
pisang
dan kamus peribahasa itu melepasku
melenggangkan
lengang
juga
ngiangan kaba maharaja dirajo
mengirim
daro pitok dan daro jingo
ke
tanah jawo
seketika,
aku lihat wajah anak perempuanku berkilau
melawan
kedipan lampu odong-odong
di
alun-alun selatan
apakah
ia juga sedang tergoda
membakar
darah titisan ninik
anak-anak
yang mada
anak-anak
yang aditia
sepi
begitu lain mengaliri perantauan ini
mengantar
diri mencangkungi angkringan
perempuan
berkebaya yang kerutan jidatnya
renyah
tawanya mirip dengan mendiang ibuku
sebungkus
nasi kucing bersayur jantung pisang
menjadi
peribahasa pertemuan kami
yang
mungkin hanya sekali
2018
ke dalam kelambu
suluk ia menyuruk
bertemu air ia nak berenang
menginjak
tanah dirinya ingin tumbuh
bersua
api dia mau terbakar
melihat
udara ia ingin terbang
bertemu
nasi dirinya hendak makan
berdepan-tatap
dengan pasangan
ia
pun berhasrat kawin
padahal
sesungguhnya ia
menyuruk
ke dalam kelambu suluk
hanya
ingin bertemu engkau
hanya
engkau
bukan
eng bukan pula kau
2018
sebagai apa aku
dapat memasukimu
sebagai ruh yang dingin; sebagai suluh yang hampir padam; sebagai angin bertiup risau;
sebagai darah bergairah; atau sebagai hujan brengsek yang akan
mengusutkan tepi gaunmu?
atau
tidak sebagai siapa-siapa. ibarat pada sebuah perjalanan sebentar yang hambar.
kita
hanya teman perjalanan, katamu. di antara orang-orang tersesat, berlalu-lalang
kita
termasuk bagian diri yang sempat bertemu, berjabat tangan,
dalam
hati yang pahit kita pun akhirnya menutup perjumpaan
dari
kejauhan kita lihat rekaman tangan kita terkulai mengayuh lambaian.
2018
Catatan*
Artikel ini sengaja ditik ulang oleh Syafrizal Sahrun dari Harian KOMPAS (cetak) untuk kepentingan dokumentasi.
SURYA GEMILANG
Sayap
nol
besar di puncak menara itu
memperlihatkan
siluet burung-burung pemakan
bangkai
beterbangan, menitipkan bebulu rontok
di
dasar menara, seorang ayah seorang anak
duduk
terpuruk, dikepung kematian
di
luar sana, lilin-lilin sedang menyala
menghangatkan
mereka, ketika
sebuah
ide tumbuh bagaikan jamur
di
balik batok kepala sang ayah:
ia pun memungut bebulu berserakan,
saling merekatkan dengan cairan lilin,
membentuk sepasang sayap yang pas
berada di tubuh sang anak.
“terbanglah, anakku,
seperti burung-burung pemakan bangkai itu.
bermigrasilah ke pulau seberang, di mana
kematian masih serupa hewan liar berhibernasi.
tapi jangan terlalu dekat dengan matahari!”
sang anak mengepak sayap, perlahan terbang
melewati nol besar, lalu bangkai-bangkai manusia
di bawah sana, orang-orang berpedang
membunuh orang-orang tak berpedang.
tiba-tiba sepasang sayap merah tumbuh
di hatinya, tumbuh keajaiban yang hanya
mungkin ada di ketinggian seperti ini:
sang anak pun berteriak kegirangan,
terbang semakin tinggi, semakin jauh
dari kematian di bawah sana, tak menyadari
sepasang sayapnya berkeringat:
lilin dilelehkan panas mentari.
*
para pelaut berpedang menemukan
sang anak menjerit meminta tolong.
di atas laut itu, burung-burung pemakan
bangkai mulai mengepung.
(Denpasar, Februari 2019)
Sekumpulan Anak
kami telur, hanya menggigil
dalam lemari salju, ingatan
tentang bokong ayam yang hangat
perlahan membeku.
kami telur, tak akan menetas
di tanganmu, kami menanti
diri pecah di atas
panas permukaan bajan.
kami telur, mengharap sedikit
keajaiban: usai beberapa menit
kaugoreng, kami menjumpa
potongan ibu di perut itu.
tapi kami hanya telur membusuk,
dilontarkan tanganmu, menuju
sebuah wajah, sebagai kejutan
ulang tahun kawanmu.
(Denpasar, Februari 2019)
Kesaksian Sebuah Mobil
bukan kecepatan ini sungguh
membuatku takut, tapi gumpalan
awan badai bermunculan dari
rambutnya seputih mata
mayat tersimpan pada bagasi,
dengan tubuh terkoyak gigi-geligi.
piranha menyeruak dari nanar matanya,
tangannya, dipenuhi noda darah,
kini gemetar hebat mendengkeram
setir sewaktu-waktu bisa dibantingnya
ke sembarang arah, matanya mencari-cari
bayang-bayang pohon manakah
hendak menampung sebuah makam
tersembunyi. mendadak, melalui amuk api
yang terlihat dari lubang di dadanya,
kubaca kehendak untuk berbelok
ke arah laut, membangun makam-tak-rahasia
kami bertiga, makam yang cukup besar
buat mengamankan hati kecilnya dari
dosa-dosa ditumpahkan oleh angkasa.
(Denpasar, Februari 2019)
*
Surya Gemilang lahir di Denpasar,
Bali, 21 Maret 1998. Cara Mencintai
Monster (2017) dan Mencicipi Kematian
(2018) adalah dua kumpulan puisinya.
Zelfeni Wimra lahir di Sungai
Naniang, Luak Limopuluah Koto, Sumatera Barat, 5 Oktober 1979. Sedang menyelesaikan
studi doktoral di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Buku puisinya bertajuk Air Tulang Ibu (2013).
Advertisement
