-->

Recent Posts

ads here

Puisi Kompas, 30/3/2019

advertise here

“Ketika Kemarau Datang”- KARYA LYDIA SAPUTRA TAHUN 2015 (Sumber: Kompas)


ZELFANI WIMRA

jantung pisang dan kamus peribahasa

sebelum mematri langkah sebagai perantau
aku lukai sebatang pisang
aku pancung tandan di hulu jantungnya
hingga terburai, bercerai-berai
nasib serupa juga ditanggung kamus peribahasa warisan ibu
lenyai digigit rayap, seolah belorong labirin kini mengurung
petuah lama di halamannya

aku nyanyikan ini sebagai puisi pindah rumah
tanpa pernah mengenali alasannya
pisang dan kamus peribahasa itu melepasku
melenggangkan lengang
juga ngiangan kaba maharaja dirajo
mengirim daro pitok dan daro jingo
ke tanah jawo

seketika, aku lihat wajah anak perempuanku berkilau
melawan kedipan lampu odong-odong
di alun-alun selatan
apakah ia juga sedang tergoda
membakar darah titisan ninik
anak-anak yang mada
anak-anak yang aditia

sepi begitu lain mengaliri perantauan ini
mengantar diri mencangkungi angkringan
perempuan berkebaya yang kerutan jidatnya
renyah tawanya mirip dengan mendiang ibuku
sebungkus nasi kucing bersayur jantung pisang
menjadi peribahasa pertemuan kami
yang mungkin hanya sekali

2018


ke dalam kelambu suluk ia menyuruk 

bertemu air ia nak berenang
menginjak tanah dirinya ingin tumbuh
bersua api dia mau terbakar
melihat udara ia ingin terbang
bertemu nasi dirinya hendak makan
berdepan-tatap dengan pasangan
ia pun berhasrat kawin

padahal sesungguhnya ia
menyuruk ke dalam kelambu suluk
hanya ingin bertemu engkau
hanya engkau
bukan eng bukan pula kau

2018


sebagai apa aku dapat memasukimu

sebagai ruh yang dingin; sebagai suluh yang hampir padam; sebagai angin bertiup risau;
sebagai darah bergairah; atau sebagai hujan brengsek yang akan mengusutkan tepi gaunmu?
atau tidak sebagai siapa-siapa. ibarat pada sebuah perjalanan sebentar yang hambar.
kita hanya teman perjalanan, katamu. di antara orang-orang tersesat, berlalu-lalang
kita termasuk bagian diri yang sempat bertemu, berjabat tangan,
dalam hati yang pahit kita pun akhirnya menutup perjumpaan
dari kejauhan kita lihat rekaman tangan kita terkulai mengayuh lambaian.

2018

Catatan*
Artikel ini sengaja ditik ulang oleh Syafrizal Sahrun dari Harian KOMPAS (cetak) untuk kepentingan dokumentasi.


SURYA GEMILANG


Sayap

nol besar di puncak menara itu
memperlihatkan siluet burung-burung pemakan
bangkai beterbangan, menitipkan bebulu rontok
di dasar menara, seorang ayah seorang anak

duduk terpuruk, dikepung kematian
di luar sana, lilin-lilin sedang menyala
menghangatkan mereka, ketika
sebuah ide tumbuh bagaikan jamur

di balik batok kepala sang ayah:
ia pun memungut bebulu berserakan,
saling merekatkan dengan cairan lilin,
membentuk sepasang sayap yang pas

berada di tubuh sang anak.
“terbanglah, anakku,
seperti burung-burung pemakan bangkai itu.
bermigrasilah ke pulau seberang, di mana

kematian masih serupa hewan liar berhibernasi.
tapi jangan terlalu dekat dengan matahari!”
sang anak mengepak sayap, perlahan terbang
melewati nol besar, lalu bangkai-bangkai manusia

di bawah sana, orang-orang berpedang
membunuh orang-orang tak berpedang.
tiba-tiba sepasang sayap merah tumbuh
di hatinya, tumbuh keajaiban yang hanya

mungkin ada di ketinggian seperti ini:
sang anak pun berteriak kegirangan,
terbang semakin tinggi, semakin jauh
dari kematian di bawah sana, tak menyadari

sepasang sayapnya berkeringat:
lilin dilelehkan panas mentari.

*
para pelaut berpedang menemukan
sang anak menjerit meminta tolong.
di atas laut itu, burung-burung pemakan
bangkai mulai mengepung.

(Denpasar, Februari 2019)


Sekumpulan Anak

kami telur, hanya menggigil
dalam lemari salju, ingatan
tentang bokong ayam yang hangat
perlahan membeku.

kami telur, tak akan menetas
di tanganmu, kami menanti
diri pecah di atas
panas permukaan bajan.

kami telur, mengharap sedikit
keajaiban: usai beberapa menit
kaugoreng, kami menjumpa
potongan ibu di perut itu.

tapi kami hanya telur membusuk,
dilontarkan tanganmu, menuju
sebuah wajah, sebagai kejutan
ulang tahun kawanmu.

(Denpasar, Februari 2019)


Kesaksian Sebuah Mobil

bukan kecepatan ini sungguh
membuatku takut, tapi gumpalan
awan badai bermunculan dari
rambutnya seputih mata

mayat tersimpan pada bagasi,
dengan tubuh terkoyak gigi-geligi.
piranha menyeruak dari nanar matanya,
tangannya, dipenuhi noda darah,

kini gemetar hebat mendengkeram
setir sewaktu-waktu bisa dibantingnya
ke sembarang arah, matanya mencari-cari
bayang-bayang pohon manakah

hendak menampung sebuah makam
tersembunyi. mendadak, melalui amuk api
yang terlihat dari lubang di dadanya,
kubaca kehendak untuk berbelok

ke arah laut, membangun makam-tak-rahasia
kami bertiga, makam yang cukup besar
buat mengamankan hati kecilnya dari
dosa-dosa ditumpahkan oleh angkasa.

(Denpasar, Februari 2019)



*
Surya Gemilang lahir di Denpasar, Bali, 21 Maret 1998. Cara Mencintai Monster (2017) dan Mencicipi Kematian (2018) adalah dua kumpulan puisinya.

Zelfeni Wimra lahir di Sungai Naniang, Luak Limopuluah Koto, Sumatera Barat, 5 Oktober 1979. Sedang menyelesaikan studi doktoral di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Buku puisinya bertajuk Air Tulang Ibu (2013).
    
      
Advertisement
BERIKAN KOMENTAR ()