Cerpen
Anak Mercusuar
Oleh
Masdar Zainal
Ayahku sebuah
mercusuar di dekat dermaga. Mercusuar tua bertubuh jangkung, berkemeja putih,
dan bertopi coklat tahi karat.
Ketika malam
sorot matanya masih bekerja dengan baik, menyala dan menelanjangi semesta pantai: kapal-kapal yang
berayun di tepi dermaga, para nelayan berkalung sarung yang sibuk membetulkan
mesin, sepasang kekasih yang duduk saling merapat di sebuah bangku panjang,
seekor kepiting yang kehilangan ibunya – yang merangkak gegas meninggalkan
garis-garis tipis di atas pasir.
Ayahku sebuah
mercusuar di dekat dermaga. Kakinya tak pernah mengenakan alas. Hanya menapak
bebas di atas batuan cadas. Anak-anak kepiting dan binatang-binatang kecil
tanpa nama selalu suka bersembunyi di bawah kakinya. Menggelitiknya sepanjang
waktu. Namun ayah tak pernah tertawa, alih-alih beranjak dari tempatnya. Karena
ayah adalah sebuah mercusuar.
Dan mercusuar
harus menyepakati dua sumpah, yang pertama ia harus teguh berdiri di tempat
yang ditentukan, dan kedua ia tak boleh memejamkan mata di waktu malam. Dan
ayahku tak pernah menyalahi sumpah. Ia akan tetap menjadi mercusuar, bahkan
setelah cinta pertama menemukannya.
Ayahku sebuah
mercusuar di dekat dermaga. Ayah dan ibu bertemu pada sebuah malam yang penuh
garam. Ibu tengah sekarat terombang-ambing ombak di atas sebuah sekoci ketika
sorot mata ayah menemukannya. Sepasang mata itu bertemu. Mata ayah menatap mata
ibu, dan mata ibu menangkap sorot mata ayah. Dan sorot mata ayah yang
berkedip-kedip itulah yang kemudian menyelamatkan ibu dari rengkuhan malam dan
udara dingin penuh garam.
Ayahku sebuah
mercusuar di dekat dermaga. Ibuku yang menceritakan semuanya.
Seuatu malam,
segerombolan orang menuntun ibu dari lepas pantai sebuah dusun – dan membawa
ibu bertamasya ke tengah laut dengan sebuah kapal pencari ikan berukuran besar.
Ibu mengingat nama dusun itu dan juga orang-orang itu, namun ibu sudah berjanji
tak hendak lagi menyebut nama-nama itu. ibu akan menyebutnya sebagai
segerombolan hantu dalam kapal hantu. Sebab, sesampainya di tengah laut,
orang-orang itu memang berubah menjadi hantu yang menyekap ibu.
Catatan*
Artikel ini sengaja ditik ulang oleh Syafrizal Sahrun dari Harian KOMPAS (cetak) untuk kepentingan dokumentasi.
Waktu itu, ibu
tengah hamil muda. Dan hantu-hantu itu menghendaki diriku – yang ketika itu
masih begitu mungil dan enggan terbangun dari tidur lelap di perut ibu. Kata
ibu, hantu-hantu itu memaksa ibu membangunkanku secara paksa. Ibu tak mau
melakukan itu. karena itu akan sangat menyakitiku – dan menyakiti diri ibu
sendiri.
Karena ibu tak
mau menuruti kata-kata mereka, hantu-hantu itu pun marah besar dan ingin
menghukum ibu dengan melempar ibu ke laut. Sebab, barangkali ibu akan berubah
menjadi ikan duyung setelah terjun ke dalam air.
Segerombolan
hantu itu bersorak, bahwa ibu akan lebih baik menjadi ikan duyung dari pada
menjadi manusia. Namun, sesosok hantu lelaki yang sangat ibu benci – ibu selalu
menangis ketika sampai pada bagian ini – mencegah hantu-hantu lain yang telah
bersiap melempar tubuh ibu ke kedalaman air.
Segerombolan
hantu itu kemudian berdebat, namun sepertinya sosok hantu lelaki yang sangat
ibu benci itu adalah ketua dari para hantu, maka hantu-hantu lain pun menuruti
perintahnya. Hantu lelaki itu menyuruh hantu-hantu lain untuk mengangkat tubuh
ibu dan memasukkannya ke dalam sebuah sekoci. Lantas sekoci itu dilepaskan
perlahan ke tengah laut.
Kata ibu, hantu
lelaki itu tak sampai hati melihat ibu menjadi ikan duyung di depan matanya,
tapi barangkali ia akan sampai hati kalau beberapa saat kemudian sekoci kecil
itu terguling dan tubuh ibu ditemukan oleh seekor hiu yang lapar. Intinya,
hantu lelaki itu tak ingin melihat ibu menghilang begitu saja di depan matanya,
ia hanya ingin melihat ibu pergi perlahan. Menghilang begitu saja dan pergi
perlahan mungkin memang berbeda.
Malam itu ibu
meraung-raung seperti orang gila dalam sebuah sekoci. Memohon-mohon agar ia tidak
ditinggalkan seorang diri di tengah lautan lepas penuh garam dengan udara
dingin menggigit, dan hanya dengan sebuah sekoci. Sekoci yang begitu kecil,
seperti sebuah peti mati, kata ibu.
Ibu
terombang-ambing penuh kepasrahan dalam sekoci itu selama satu hari satu malam.
Berusaha menyelami kata-kata laut. Berusaha memahami bisik-bisik angin. Dan
menyimak baik-baik, percik-percik yang disampaikan langit.
Dan apa yang
dilakukan ibu dalam sekoci mirip peti mati itu selama sehari semalam?
Menangis. Hanya menangis
sampai air matanya menjadi garam. Sampai ludahnya menjadi garam. Sampai
rambutnya menjadi garam. Dan kulitnya bersisik-sisik pernuh serbuk daki,
benar-benar seperti ikan dilumuri garam.
Dengan tenggorokan
sepat seperti tercekik, ibu berbaring pasrah dalam sekoci yang barang kali akan
benar-benar menjadi peti matinya. Ibu tak lagi memikirkan kemana sekoci tanpa
layar itu pergi diseti angin, atau di manakah sekoci rapuh itu nantinya akan
terjungkal memuntahkan tubuh ibu yang sekarat. Ibu hanya menelentang menghadap
langit dan telah siap menjadi ikan apa pun, entah ikan duyung, entah ikan
kembung, entah ikan julung.. Sebab, detik itu ibu merasa dirinya telah hampir
menjadi ikan asin yang puas dijemur udara dingin.
Beruntunglah, malam
itu laut berkata lain, langit berujar lain. Malam itu mata ayah menemukan ibu,
menangkap sekoci ibu, hingga kemudian segerombolan oran menyelamatkannya. Malam
itu, tubuh ibu yang lunglai dibawa ke lepas pantai, dan di ambang kesadarannya
yang pasang-surut, ibu melihat ayah berdiri tegap, gagah, berkemeja putih,
dengan sorot mata yang setia dan kelewat tajam mencincang kegelapan.
Hari-hari berikutnya,
ibu tak bisa jauh dari ayah. Ia jatuh hati pada ayah sejak pandangan pertama
pada malam penuh garam itu. Selanjutnya, ibu tinggal dan tidur di mana saja, di
sekitar dermaga. Orang-orang menyebut ibu sebagai gelandangan gila yang hamil
tua di dermaga. Namun ibu tak pernah menggubris, kata ibu hanya ayah yang paham
mengapa ibu melakukan itu.
Ibu rela makan dan
tidur di mana saja: di bawah pohon ketapang yang berjajar di sepanjang pantai,
atau di bangku beton penuh coretan yang menatap ke laut lepas, bahkan ibu rela
tidur di hamparan pasir, asalkan setiap hari ia bisa melihat tubuh ayah yang
gagah serta menatap sorot matanya yang jeli ketika langit mulai gulita.
Pada hari ketika aku
terbangun dari perut ibu, ibu pergi tergopoh-gopoh menuju kaki ayah. Ibu ingin
aku terbangun di bawah naungan ayah. Menatap wajah ayah saat tiba di muka bumi
untuk pertama kali. Malam itu, orang-orang begitu gaduh. Berseru satu sama
lain. Gelandangan yang hamil tua itu melahirkan di bawah menara… Gelandangan
yang hamil tua itu melahirkan di bawah menara…
Dan hari itu ibu
sangat bahagia. Hanya bahagia. Dan rupanya, orang-orang baik di muka bumi ini
masih cukup banyak. Sejak hari itu, ibu tinggal di sebuah rumah mungil milik
orang baik di dusun tepi dermaga. Di sebuah kios pelelangan ikan. Ibu tak perlu
membayar uang sewa. Ibu hanya butuh merawat rumah mungil itu dengan baik.
“Segerombolan hantu
membuang ibumu di laut lepas, dan ayahmu serta segerombolan orang baik
menemukan ibumu di sini, atau ibumu yang menemukan mereka,” ibu terkekeh.
Maka, sampai detik
itu, ketika aku bertanya di mana ayah, ibu akan membawaku ke tepi dermaga, di
sepanjang jalan, mulut ibu akan bercerita. Sedang sepasang matanya yang
menyala, menyorot tajam ke depan.
“Ayahmu adalah sebuah
mercusuar di dekat dermaga. Mercusuar tinggi berkemeja putih dan bertopi coklat
tahi karat. Ketika malam, sorot matanya masih bekerja dengan baik, menyala dan
menerangi seluruh pantai. Kaki ayahmu tak pernah mengenakan alas. Hanya menapak
bebas di atas batuan cadas. Anak-anak kepiting dan binatang-binatang kecil yang
tak kutahu namanya suka bersembunyi di bawah kakinya. Menggelitiknya sepanjang
waktu. Dan ayahmu tak pernah tertawa, atau beranjak dari tempatnya…”
Karena ayah adalah
sebuah mercusuar. Dan sebuah mercusuar harus menyepakati dua sumpah, yang
pertama ia harus teguh berdiri di tempat yang ditentukan, dan kedua ia tak
boleh memejamkan mata di waktu malam. Dan ayah tak pernah menyalahi sumpah. Ia
akan tetap menjadi sebuah mercusuar. Juga menjadi ayah. Sampai kapan pun.
Jadi begitulah! Kalau
ada yang bertanya padaku, siapa ayahku, akan kujawab: ayahku adalah sebuah
mercusuar di dekat dermaga. Ibuku yang menceritakan semuanya. ***
Masdar
Zainal,
lahir di Madiun, 5 Juni 1984, suka membaca dan menulis puisi serta prosa.
Tulisannya terpercik di beberapa media. Buku kumpulan cerpen terbarunya,
Dongeng Pendek Tentang Kota-kota dalam Kepala, 2017. Kini bermukim di Malang.
Deka
Dermawan,
punya nama lengkap Annisa Dermawan Kunaefi, lahir di Bandung, 1994.
Menyelesaikan studi S-1 di Program Studi Seni Rupa Studio Dwimatra Seni Lukis
Institut Teknologi Bandung (ITB). Kini bekerja sebagai pengajar yunior di
kursus Gambar Villa Merah Bandung.
Advertisement
